Kamis, 26 Maret 2009

Gangguan pendengaran akibat kemoterapi dengan cisplatin

Sifat farmakokinetik membedakan efek ototoksik cisplatin dan oxalipatin
Medical Update Magazine
Journal of the national cancer institute 2009

Perbedaan sifat farmakokinetik di antara cisplatin dan oxaliplatin dapat menjelaskan perbedaan efek ototoksiknya, karenasecara bermakna lebih banyal cisplatin yang masuk kedalam telinga dalam dibanding oxalipatin.

Dr.Victoria Hellberg dan kawan-kawan dari karolinska institutet Stockholm Swedia melaporkan bahwa ambilan oxiliplatin kokhlear yang lebih rendah disbanding dengancisplatin tampaknya dapat menjelaskan efek ototoksisitas yang lebih rendah.

Untuk dapat mengetahui mengapa kemoterapi dengancisplatin sering menyebabkan gangguan pendengaran sedangkan kemoterapi dengan oxaliplatin yang sama-sama merupakan obat berbasis platinum jarang mempunyai efek sampik ototoksik, maka tim peneliti ini mengukur jumlah cisplatin dan oxaliplatin yang mencapai kokhlea pada marmot.

Para peneliti menemukan bahwa kadar platinum total dalam kokhlea 5 kali lipat lebih tinggi dengan cisplatin disbanding oxaliplatin, setelah pemberian suntikan inravena. Kadar obat perilimfatik secara bermakna juga lebuh tinggi dengancisplatin disbanding oxaliplatin.

Seperti yang sudah diduga sebelumnya, cisplatin pada dosis ekimolar (12.5 mg/kg) menyebabkan efek ototoksik berat pada model binatatng marmot, sedangkan oxaliplatin (16.6 mg/kg) menunjukkan efek ototosik minimal.

Setelah pemberian dosis cisplatin non ototoksik (5 mg/kg) atau oxaliplatin dengan dosis sebanding (16.6 mg/kg), kadar obat perilimfatiknya sama besar. Hal ini menunjukkan kedua obattersebut mempunyai farmakokineyik kokhlear yang berbeda.

Disimpulakan bahwa adanya perbedaan kinetic kokhlear dan ambilan seluler yang ditemukan pada organ pendengaran, sudah cukup untuk menjelaskan perbedaan ototoksisitas diantara cisplatin dan oxaliplatin.

Kamis, 19 Maret 2009

Sinusitis maksilaris kronis

Sinusitis maksilaris kronis menduduki urutan ke-5 dari 10 besar kasus terbanyak di poli THT RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 2006 dengan 918 (6,39%) kasus baru dari 14.349 kasus THT. Sedangkan di poli khusus THT rinologi alergi didapatkan 161 (19,47%) kasus penderita sinusitis maksilaris kronis dari 827 kasus rinologi alergi.


Secara umum, anamnesis dan pemeriksaan fisik harus dilakukan dalam diagnosis rutin sinusitis maksilaris kronik. Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis sinusitis maksilaris, yaitu transiluminasi, radiologis serta pungsi dan aspirasi.2 Pemeriksaan plain foto radiografi dilakukan untuk melihat keadaan sinus maksilaris, posisi yang terbaik adalah occipitomental (Waters).

Penatalaksanaan sinusitis adalah dengan menggunakan berbagai modalitas terapi, mulai dari terapi konservatif saja sampai irigasi sinus dan pembedahan. Kebanyakan penderita sinusitis dapat diterapi dengan baik menggunakan pendekatan konservatif dengan antibiotika dan dekongestan dan atau dengan tambahan short wave diathermy (SWD) atau low level laser therapy (LLLT).
LLLT dilaporkan mempunyai efek biomodulasi : mengurangi inflamasi, meningkatkan respon imunologis, mengurangi rasa nyeri serta mempercepat penyembuhan luka.4,5 Saat ini LLLT sudah cukup sering digunakan di beberapa rumah sakit, namun terapi dengan SWD untuk sinutitis juga masih digunakan. Pemberian diatermi ini menguntungkan oleh karena tidak invasif terutama untuk anak-anak dan prosedurnya lebih sederhana bila dibandingkan dengan irigasi. Short wave diathermy dikatakan efektif untuk sinusitis kronik karena membantu drainase sinus dengan membuka ostium sinus.