Sabtu, 30 Mei 2009
Tuli Pasca Parotitis
Studi yang dilakukan oleh tim peneliti Jepang menunjukkan bahwa kehilangan pendengaran pada anak-anak pasca parotitis ternyata 20 kali lebih sering dari pada yang diduga sebelumnya.
Dr.Hiromi Hashimoto dari Hashimoto Padiatric Clinic cukup terpanjat melihat begitu banyak pasien yang kehilangan pendengaran pasca parotitis, meskipun diduga bahwa insidensinya > 0,5 – 5,0 per 100.000 kasus.
Karena parotitis merupakan penyakit endemik di jepang, maka para peneliti menyelidiki insidensi tuli mendadak yang terjadi pada anak pasca parotitis, yang didasarkan pada survey berbasis populasi pada > 7.500 pasien.
Secara keseluruhan, insiden tuli pada anak-anak yang dikonfirmasi menderita parotitis adalah 7 kasus pada 7.400 anak dengan tes pendengaran, atau besarnya 0,1%. Tidak satupun anak yang tuli akibat parotitis telah mendapat vaksinasi parotitis. Kehilangan pendengaran pada 7 anak tersebut bersifat berat, dan tidak membaik pada akhir studi.
Para peneliti khawatir bahwa banyak orang Jepang termasuk dokter, tidak mengetahui timbulnya tuli akibat protitis. Banyak orang Jepang percaya bahwa parotitis merupakan penyakit ringan jika terjadi pada masa anak-anak. Tim peneliti ini menginginkan agar masyarakat mempunyai pengertian yang betul mengenai parotitis dan pentingnya vaksinasi.
Dalam komentarnya, Dr.Plotkin dari Universitas of Pennsylvania, Doylestown, menyoroti vaksinasi parotitis yang tidak bersifat universal di jepang. Meskipun hal ini tidak ganjil, tetapi pihak yang berwenang di Jepang gagal memberian izin dan mengimport vaksin MMR. Hal ini diduga disebabkan adanya proteksionisme teradap produk dari luar jepang.
Kelangkaan vaksinasi profilatik terhadap parotitis cukup mengejutkan untuk negara maju seperti jepang, dan kebijaksanaan salah ini perlu dirubah untuk kebaikan anak-anak di jepang.
Sumber: Medical Up-date.
Jumat, 29 Mei 2009
Sakit Sinus
Artis cantik Catherine Zeta Jones (40) sakit sinusitis. Hampir tipa hari harus bolak-balik ke rumah sakit untuk mendapat perawatan berkaitan dengan peradangan pada saluran sinus yang terletak dekat hidung.
Jones memberikan pujian kepada staff rumah sakit setempat di Bermuda. ”Mereka benar-benar bekerja dengan baik, sekarang saya sudah sembuh.”
Sumber: Kompas
Tonsilektomi
Studi terbaru menunjukkan anak yang menjalani tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi, akan menungkat resiko untuk mengalami berat badan beberapa tahun setelah operasi.
Dari National Institute for Public Health and Enviroment, Bilthoven, Belanda, dalam studi sebelumnya menghubungkan tonsilektomi dengan kenaikan berat badan, tetapi saat itu belum dapat dipastikan apakah kejadian tersebut merupakan faktor resiko.
Guna memastikan hal ini, para peneliti menganalisis data 3,963 anak yang mengikuti studi kohort kelahiran PIAMA (Prevent and Incidence of Asthma and Mite Allergy). Digunakan kuesioner parental tahunan untuk menilai berat badan, status tonsilektomi dan faktor lain. Selain itu, tinggi dan berat badan seluruh anak dinilai saat berusia 8 tahun.
Tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi meningkatkan resiko untuk mengalami berat badan berlebih sebesar 61% dan obesitas sebesar 136% pada saat anak berusia 8 tahun (p<0,01). Adenoidektomi saja tidak secara bermakna meningkatkan resiko berat badan berlebih, tetapi meningka7kan resiko obesitas sebesar 94% (P<0,05).
Data longitudional berat dan tinggi badan beberapa tahun sebelum dan sesudah operasi menunjukkan bahwa (adeno)tonsilektomi menciptakan titik balik antara periode growth faltering dan periode catch-up growth, sehingga hal ini dapat menjelaskan meningkatnya resiko timbulnya berat badan berlebih setelah operasi.
Para peneliti menganjurkan agar orang tua diberi nasehat menegenai diet dan gaya hidup yang benar bagi anak yang akan menjalani tonsilektomi. Monitoring pertumbuhan pasca operasi merupakan kunci untuk memastikan bahwa catch-up growth terjadi dalam batas yang sehat.
Sumber : Medical Up-date
Dari National Institute for Public Health and Enviroment, Bilthoven, Belanda, dalam studi sebelumnya menghubungkan tonsilektomi dengan kenaikan berat badan, tetapi saat itu belum dapat dipastikan apakah kejadian tersebut merupakan faktor resiko.
Guna memastikan hal ini, para peneliti menganalisis data 3,963 anak yang mengikuti studi kohort kelahiran PIAMA (Prevent and Incidence of Asthma and Mite Allergy). Digunakan kuesioner parental tahunan untuk menilai berat badan, status tonsilektomi dan faktor lain. Selain itu, tinggi dan berat badan seluruh anak dinilai saat berusia 8 tahun.
Tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi meningkatkan resiko untuk mengalami berat badan berlebih sebesar 61% dan obesitas sebesar 136% pada saat anak berusia 8 tahun (p<0,01). Adenoidektomi saja tidak secara bermakna meningkatkan resiko berat badan berlebih, tetapi meningka7kan resiko obesitas sebesar 94% (P<0,05).
Data longitudional berat dan tinggi badan beberapa tahun sebelum dan sesudah operasi menunjukkan bahwa (adeno)tonsilektomi menciptakan titik balik antara periode growth faltering dan periode catch-up growth, sehingga hal ini dapat menjelaskan meningkatnya resiko timbulnya berat badan berlebih setelah operasi.
Para peneliti menganjurkan agar orang tua diberi nasehat menegenai diet dan gaya hidup yang benar bagi anak yang akan menjalani tonsilektomi. Monitoring pertumbuhan pasca operasi merupakan kunci untuk memastikan bahwa catch-up growth terjadi dalam batas yang sehat.
Sumber : Medical Up-date
Selasa, 26 Mei 2009
PPA dosis aman
Kompas.
Indonesia masih mengizinkan peredaran obat flu dan batuk yang mengandung phenylpropanolamine atau PPA, tetapi dengan mereduksi kandungan menjadi 15 milligram per dosis.
Tidak benar, 1 Maret 2009 US-FDA mengeluarkan pengumuman penarikan PPA. November 2000, US-FDA menarik obat menandung PPA karena diduga terkait dengan perdarahan otak karena dosis besar sebagai pelangsing.
Di Indonesia, PPA hanya disetujui sebagai obat untuk menghilangkan gejala hidung tersumbat dalam obat flu seta batuk dan tidak disetujui sebagai pelangsing.
Australia & Inggris msih mengizinkan peredaran obat yang mengandung PPA dengan pertimbangan dosis per hari lebih kecil 100 mg/hari, sedangkan AS mengizinkan 150 mg/hari. Di Indionesia, dosis PPA kita dikurangi 15 mg/dosis. Kalau diminum tiga kali hanya 45 mg/hari. Dan PPA tidak mengendap dan keluar lewat urine.
Sudah ada pengganti PPA yakni Pseudoephedrine, tetapi harganya dua kali lipat PPA. Keduanya beresiko sama, yaitu menyebabkan hipertensi. Anak-anak dibawah enam tahun tidak diizinkan meminumnya.
Indonesia masih mengizinkan peredaran obat flu dan batuk yang mengandung phenylpropanolamine atau PPA, tetapi dengan mereduksi kandungan menjadi 15 milligram per dosis.
Tidak benar, 1 Maret 2009 US-FDA mengeluarkan pengumuman penarikan PPA. November 2000, US-FDA menarik obat menandung PPA karena diduga terkait dengan perdarahan otak karena dosis besar sebagai pelangsing.
Di Indonesia, PPA hanya disetujui sebagai obat untuk menghilangkan gejala hidung tersumbat dalam obat flu seta batuk dan tidak disetujui sebagai pelangsing.
Australia & Inggris msih mengizinkan peredaran obat yang mengandung PPA dengan pertimbangan dosis per hari lebih kecil 100 mg/hari, sedangkan AS mengizinkan 150 mg/hari. Di Indionesia, dosis PPA kita dikurangi 15 mg/dosis. Kalau diminum tiga kali hanya 45 mg/hari. Dan PPA tidak mengendap dan keluar lewat urine.
Sudah ada pengganti PPA yakni Pseudoephedrine, tetapi harganya dua kali lipat PPA. Keduanya beresiko sama, yaitu menyebabkan hipertensi. Anak-anak dibawah enam tahun tidak diizinkan meminumnya.
Senin, 11 Mei 2009
GERD
Belum banyak orang yang Indonesia yang mengetahui tentang GERD atau gastroesophageal reflux disease. Umumnya penyakit yang berkaitan dengan asam lambung selalu dikira sebagai dyspepsia atau mag. Padahal GERD adalah penyakit kronik yang bias mengakibatkan kanker lambung. Di Indonesia diperkirakan ada 4 juta orang menderita GERD.
Asam lambung bias naik dan mengakibatkan perlukaan di kerongkongan. Lama-lama bisa menjadi kanker kerongkongan.
GERD merupakan kondisi aliran balik dari isi lambung ke kerongkongan yang menyebabkan gejala yang mengganggu hingga terjadinya komplikasi. Aliran balik asa lambung ke kerongkongan tidak hanya menjadi pemicu sindrom GERD (seperti naiknya aliran isi lambung ke kerongkongan atau regurgitasi ataupun nyeri dada seperti terbakar, heartburn) tetapi juga menyebabkan luka pada kerongkongan atau esofagitis. Alir balik isi lambung ini juga dilaporkan bisa menyebabkan atypical syndrome (seperti asthma reflux) yang dapat mengganggu aktifitas sehari-hari dan sulit diobati.
Komplikasi lain.
GERD yang tidak diterapi dengan baik dapat menyebabkan terjadinya komplikasi antara lain penyempitankerongkongan, pendarahan kerongkongan dan kondisi yang disebut Barrett’s esophagus (terjadi pembentukan jaringan pada dinding kerongkongan seperti yang ditemukan dalam usus). Jika hal ini terjadi, perjalanan penyakit ini berhubungan dengan kanker kerongkongan.
Faktor resiko penyakit GERD ini antara lain obesitas, tidur telentang seusai makan, merokok, alkohol, kopi, dan stress.
Kopi menungkatkan asam lambung, begitu juga stress. Jika ada sesuatu yang tidak beres di otak, maka otak akan memerintahkan lambung untuk memproduksi asam lambung.
Asam lambung bias naik dan mengakibatkan perlukaan di kerongkongan. Lama-lama bisa menjadi kanker kerongkongan.
GERD merupakan kondisi aliran balik dari isi lambung ke kerongkongan yang menyebabkan gejala yang mengganggu hingga terjadinya komplikasi. Aliran balik asa lambung ke kerongkongan tidak hanya menjadi pemicu sindrom GERD (seperti naiknya aliran isi lambung ke kerongkongan atau regurgitasi ataupun nyeri dada seperti terbakar, heartburn) tetapi juga menyebabkan luka pada kerongkongan atau esofagitis. Alir balik isi lambung ini juga dilaporkan bisa menyebabkan atypical syndrome (seperti asthma reflux) yang dapat mengganggu aktifitas sehari-hari dan sulit diobati.
Komplikasi lain.
GERD yang tidak diterapi dengan baik dapat menyebabkan terjadinya komplikasi antara lain penyempitankerongkongan, pendarahan kerongkongan dan kondisi yang disebut Barrett’s esophagus (terjadi pembentukan jaringan pada dinding kerongkongan seperti yang ditemukan dalam usus). Jika hal ini terjadi, perjalanan penyakit ini berhubungan dengan kanker kerongkongan.
Faktor resiko penyakit GERD ini antara lain obesitas, tidur telentang seusai makan, merokok, alkohol, kopi, dan stress.
Kopi menungkatkan asam lambung, begitu juga stress. Jika ada sesuatu yang tidak beres di otak, maka otak akan memerintahkan lambung untuk memproduksi asam lambung.
Langganan:
Postingan (Atom)