Jumat, 18 Desember 2009
Vaksin tanpa jarum untuk Telinga
Minggu, 13 Desember 2009
Obat Nyeri Tenggorakan
Studi terbaru menyebutkan bahwa pasien dewasa yang mendapatkan pengobatan anti nyeri tenggorokan, steroid dosis tunggal bersama-sama dengan antibiotika dapat menghilangkan nyeri lebih cepat dan efektif dibandingkan peberian antibiotika saja.
Dr Matthew Thompson dkk dari University of Oxford menganalisis hasil uji klinik yang menbandingkan kortikosteroiodterhadap placebo pada pasien dewasa dan anak-anak. Secara keseluruhan diteliti 743 subyek (369 anak-anak dan 374 dewasa). Seluruh subyek tersebut mengeluh gejala sait tenggorokan berat.
Ditemukan bahwa kortikosteroid yang diberikan bersama antibiotika cenderung 3 kali lipat lebih kuat menghilangkan nyeri setelah 24 jam, dibandingkan placebo. Meskipun demikian efeknya terhadap nyeri setelah 24 jam kurang begitu nyata, karena itu para peneliti menduga bahwa steroid dosis tunggal sudah mencukupi.
Selain itu kortokosteroid juga mengurangi waktu rata-rata hilangnya nyeri sekitar 6 jam. Tetapi efek nyata ersebut hanya terjadi pada pasien dewasa dan hanya pada subyek yang mendapat steroid oral. Dalam studi tersebut juga ditemukan bahwa pemberian analgesic tidak mempunyai pengaruh apa-apa.
Sumber : MU (medical update September 2009)
Musim Pancaroba
Musim pancaroba kerap menimbulkan penyakit, antara lain batuk, pilek, flu, demam, diare, bahkan cacar dan campak.
Banyaknya serangan penyakit disebabkan karena alam memberikan kondisi ideal bagi bakteri dan virus untuk berkembang biak. Disisi lain cuaca yang tidak menentu dapat membuat tubuh tidak dalam kondisi prima.
Hal paling mendesak adalah mempersiapkan tubuh untuk menghadapi serangan penyakit dengan cara
1. Membiasakan untuk tetap hidup bersih seperti mencuci tangan sebelum makan, menjaga kebersihan sekujur tubuh, serta kebersihan lingkungan tempat tinggal.
2. Mengkonsumsi makanan yang bergizi.
3. Berolahraga.
4. Jika terserang penyakit ringan seperti batuk, pilek, dapat mengkonsumsi obat-obatan yang aman.
Sumber : Majalah Intisari Juni 2009.
Kamis, 03 Desember 2009
PITO Palembang 2009
Acara PITO (Pertemuan Ilmiah Tahunan Otology) 2009 di Palembang begitu meriah yang dihadiri Wakil Gubernur Sumatera Selatan.
Acara PITO juga disisipi kegiatan ramah tamah diselingi lomba dansa untuk seluruh peserta se-Indonesia. Gambar disamping adalah peserta lomba dansa dari Malang Jawa Timur.
Jauh-jauh dari Palembang kurang afdol kalo tidak beli baju kain songket dan berfoto di Jembatan Ampera.
Selasa, 22 September 2009
Panduan Diagnosis dan Pengobatan Flu Babi
Virus influenza A babi (H1N1) menhasilkan tes positif untuk influenza A serta negative untuk H1 dan H3 melalui real time RT-PCR. Jika reaktifitas real time RT-PCR untuk influenza A kuat (missal Ct<30), maka lebih merupakan virus influenza A baru.
Rapid test untuk flu babi mempunyai sesitifitas 50 – 70%, dan hasil tes negative tidak menunjukkan adanya influenza. Tes imunofluorosensi (DFA atau IFA) dapat membedakan virus influenza A dan B, dan tes positif untuk influenza A memenuhi criteria kasus probable flu babi.
Virus influenza A babi (H1N1) bersifat sesitif terhadap obat anti virus penghambat neuroimidase, yaitu zanamivir dan oseltamivir, tetapi rsisten terhadap amantadine dan rimantadine. Untuk kasus dugaan flu babi dianjurkan zanavir tunggal atau dalam kombinasi dengan oseltamivir dan amantadine atau rimantadine selama 5 hari segera setelah timbul gejala. Kasus pasti flu babi diberikan zanamivir atau oseltamivir selama 5 hari.
Pada ibu hamil, hanya boleh diberikan jika manfaat yang ada melebihi potensi resiko terhadap embrio atu fetus. Karena anak < 1 tahun mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi akibat influenza, maka bayi dengan flu babi (H1N1) dapat diberikan oseltamivir.
Sumber : majalah MU
www.cdc.gov/flu/swine
Minggu, 28 Juni 2009
Jenis Flu Kian Beragam
Dunia kini kian cemas oleh wabah flu babi yang nyaris menjadi pandemi. Sebelumnya kita juga disibukkan oleh penyakit flu burung. Beberapa waktu lalu terbetik berbagai penyakit flu selain flu burung dan flu babi, seperti flu singapura bahkan flu anjing. Berikut perbedaan penting dari keempat jenis flu yang menakutkan tersebut.
Flu Burung.
Penyakit influenza pada unggas (avian influenza) adalah penyakit yang disebabkan virus influenza type A dari family orthomyxomiridae.
Manusia yang terserang menunjukkan gejala seperti flu biasa yaitu demam, batuk, sesak, sakit tenggorokan, beringus, nyeri otot, sakit kepala dan lemas. Dalam waktu singkat, gejala ini bisa menjadi lebih berat dengan adanya peradangan paru-paru (pneumonia), dan apabila tidak dilakukan tatalaksana dengan baik dapat menyebabkan kematian.
Penyakit ini dapat juga menyerang manusia lewat udara yang tercemar virus itu. Belum ada bukti terjadinya penularan dari manusia ke manusia. Juga belum ada bukti adanya penularan pada manusia lewat daging yang dikonsumsi.
Orang yang memiliki resiko terbesar terserang flu burung adalah pekerja di peternakan unggas, penjual dan penjamah unggas.
Flu Babi.
Babi sebagai sumber flu babi (swine flu) tidak hanya dapat terinfeksi oleh virus flu babi, tetapi juga virus flu yang berasal dari unggas dan virus manusia.
Saat ini dikenal empat macam virus flu babi yaitu H1N1, H1N2, H3N2 dan H3N1. Tetapi belakangan yang sering ditemukan adalah jenis H1N1 yang sejatinya hanya mengenai babi. Tetapi karena adanya mutasi, virus ini berubah sifat sehingga dapat menginfeksi manusia. Celakanya virus H1N1 dapat menyebar dari manusia ke manusia.
Gejala flu babi hampir sama dengan flu biasa, yaitu demam, lesu, kurang semangat dan batuk. Selain itu juga dijumpai gejala pilek dari hidung, radang tenggorokan, mual, muntah, dan diare. Pada tahap lanjut biasanya dijumpai sesak napas. Kematian biasanya terjadi akibat kegagalan pernapasan.
Flu Singapura.
Hand Foot and Mouth Disease (HFMD) ditandai dengan timbulnya bisul-bisul pada mulut, tangan dan kaki. Gejala selebihnya mirip dengan flu biasa.
HFMD adalah penyakit virus yang menyerang anak-anak dibawah 10 tahun. Penyebabnya enterovirus, terutama virus coxsackie group A, khusus type A16 dan tipe-tipe 4,5,9,10 serta group B tipe 2 dan 5, meski jarang disebabkan oleh enterovirus 71.
Virus Coxsackie termasuk enterovirus dari famili Picornaviridae penularannya bisa terjadi melalui kontak lansung dengan sekret hidung dan tenggorokan, droplet infection atau kontak dengan tinja orang yang terinfeksi.
Flu Anjing.
Sejumlah ahli Washington menemukan virus flu yang menyerang anjing dan membunuh sejumlah anjing pacuan. Virus denga tipe A dan subtipe H3N8 itu menular dari kuda ke anjing dan mungkin mengancam hewan peliharaan. Virus ini diketahui menyerang saluran pernapasan.
Berdasarkan penelitian sementara, belum ada bukti virus flu anjing dapat menular ke manusia.
Sumber : Jawa Pos
Rabu, 24 Juni 2009
Alat Bantu Dengar Terkecil
Sakit Flu
Bintang film dari Spanyol, Penelope Cruz sempat diisukan oleh media massa terkena sakit flu berat yang diduga influenza A-H1N1 atau flu babi. Soalnya forum penting yang seharusnya dihadiri Cruz pada acara peluncuran film musikal Nine di festival film Cannes, Perancis tak jadi dihadirinya dengan alasan sakit flu.
Tapi akhirnya Cruz muncul juga di acara festival film Cannes untuk promosi film terbarunya. Hal ini menjawab kekhawatiran orang tentang sakit flu yang dideritanya. Ternyata hanya sakit flu biasa yang diakibatkan oleh makanan yang tidak sehat.
Sumber : Kompas.
Jumat, 19 Juni 2009
Ganguan Pendengaran pada Bayi Prematur
Ganguan Pendengaran tertunda terjadi pada Bayi Prematur, Studi terbaru mengonfirmasi bahwa prematuritas ekstrim merupakan faktor resiko timbulnya gangguan pendengaran permanen, dan gangguan pendengaran ini sering kali timbulnya tertunda, serta bersifat progresif. Juga dilaporkan bahwa penggunaan suplemen oksigen berkepanjangan merupakan predictor kunci untuk timbulnya gangguan pendengaran permanen, terutama gangguan pendengaran berat.
Dr. Charlene M T. Robertson dari University of Edmonton, Alberta Kanada meneliti 1.279 bati premature ekstrim (usia kehamilan 28 minggu atau kurang, dan berat bada kurang dari 1.250g) pada tahun 1974 – 2003. Gangguan pendengaran permanen terjadi pada 40 anak (3,1%) pada usia 3 tahun. Sebanyak 24 anak (1,9%) menderita gangguan pendengaran berat yaitu ambang pendengaran lebih dari 70db.
Dari anak-anak dengan gangguan pendengaran permanen tersebut, sebanyak 4 anak (10%) mengalami gangguan pendengaran tertunda dan 11 anak (28%) mempunyai gangguan pendengaran progresif. Seorang anak mengalami neuropati pendengaran dan 29 anak (73%) mengalami kelainan multiple.
Melalui analisis multivariat, ditemukan bahwa penggunaan oksigen berkepanjangan, operasi gastrointestinal, ligasi patent ductus arteriosus dan indeks sosioekonomi rendah, merupakan predictor timbulnya gangguan pendengaran permanen. Dari factor-faktor tersebut, penggunaan oksigen merupakan prediktor terkuat, dan meningkatkan resiko sebesar 4,61 kali lipat (p<0,001).
Dengan adanya prematuritas ekstrim, gangguan pendengaran permanen merupakan komplikasi mayor yang sering timbul bersama kelainan mayor lainya. Karena itu, diperlukan segera studi untuk mencegah timbulnya gangguan pendengaran permanen.
Medical Update Magazine June 2009.
Kamis, 11 Juni 2009
Modal Penyanyi
Modal penyanyi yang paling utama adalah suara. Jika suara rusak atau terganggu, lagu yang dinyanyikan akan ‘berantakan’. Untuk selalu memiliki suara yang baik, penyanyi harus merawatnya dengan mengurangi rokok, mengurangi makan gorengan dan istirahat bicara.
Istirahat bicara (vocal rest) diperlukan jika seorang penyanyi ditemukan pengerasan seperti kutil di pita suara. Sebenarnya kutil tersebut dapat diambil melalui operasi, tetapi hal itu bisa membahayakan penyanyi karena pita suara bisa rusak.
Waktu yang diperlukan untuk istirahat bicara sekitar 2 minggu.
Selasa, 09 Juni 2009
Radang Telinga Tengah Kronik
Tanda-tanda OMK yang dapat dilihat orang awam adalah keluar cairan telinga terus menerus. Warna cairan bisa seperti air, umbel bening, kental atau bernanah. Penyakit ini kadang-kadang hilang timbul. Pada pemeriksaan selain cairan tersebut diatas, gendang telinga mengalami perforsi (berlubang).
Penyebab OMK adalah pengobatan OMA (Otitis Media Akut) yang seadanya, tidak tepat, cepat dan tidak akurat. Hal ini dikarenakan orang tua atau penderita kurang memperhatikan atau tidak tahu tentang penyakit ini. Akibatnya penyakit ini menjadi berlarut-larut dan berkepanjangan. Baru tergugah untuk berobat ke dokter bila cairan berupa nanah yang berbau dan pendengaran menurun.
Disamping faktor ketidaktahuan tersebut, ada faktor lain yang mempersulit OMK yaitu
1.Virulensi kuman yang tinggi.
2.Menurunnya kekebalan tubuh.
3.Gizi buruk.
4.Personal hygiene yang kurang baik.
Pengobatan OMK lebih sulit dari pengobatan OMA, kadang perlu pengobatan berulang-ulang. Prinsip pengobatan OMK maupun OMA :
1.Pembersihan liang telinga.
2.Obat tetes telinga dan antiboitik.
3.Pengobatan penyakit ISPA yang bersamaan dengan OMK maupun OMA.
4.Penerangan kesehatan kepada orang tua atau penderita sendiri.
Radang Telinga Tengah Kronik (OMK)
Oleh dr.H. Santo Pranowo, Sp.THT
Radar Kudus Jawa Pos
Sabtu, 30 Mei 2009
Tuli Pasca Parotitis
Studi yang dilakukan oleh tim peneliti Jepang menunjukkan bahwa kehilangan pendengaran pada anak-anak pasca parotitis ternyata 20 kali lebih sering dari pada yang diduga sebelumnya.
Dr.Hiromi Hashimoto dari Hashimoto Padiatric Clinic cukup terpanjat melihat begitu banyak pasien yang kehilangan pendengaran pasca parotitis, meskipun diduga bahwa insidensinya > 0,5 – 5,0 per 100.000 kasus.
Karena parotitis merupakan penyakit endemik di jepang, maka para peneliti menyelidiki insidensi tuli mendadak yang terjadi pada anak pasca parotitis, yang didasarkan pada survey berbasis populasi pada > 7.500 pasien.
Secara keseluruhan, insiden tuli pada anak-anak yang dikonfirmasi menderita parotitis adalah 7 kasus pada 7.400 anak dengan tes pendengaran, atau besarnya 0,1%. Tidak satupun anak yang tuli akibat parotitis telah mendapat vaksinasi parotitis. Kehilangan pendengaran pada 7 anak tersebut bersifat berat, dan tidak membaik pada akhir studi.
Para peneliti khawatir bahwa banyak orang Jepang termasuk dokter, tidak mengetahui timbulnya tuli akibat protitis. Banyak orang Jepang percaya bahwa parotitis merupakan penyakit ringan jika terjadi pada masa anak-anak. Tim peneliti ini menginginkan agar masyarakat mempunyai pengertian yang betul mengenai parotitis dan pentingnya vaksinasi.
Dalam komentarnya, Dr.Plotkin dari Universitas of Pennsylvania, Doylestown, menyoroti vaksinasi parotitis yang tidak bersifat universal di jepang. Meskipun hal ini tidak ganjil, tetapi pihak yang berwenang di Jepang gagal memberian izin dan mengimport vaksin MMR. Hal ini diduga disebabkan adanya proteksionisme teradap produk dari luar jepang.
Kelangkaan vaksinasi profilatik terhadap parotitis cukup mengejutkan untuk negara maju seperti jepang, dan kebijaksanaan salah ini perlu dirubah untuk kebaikan anak-anak di jepang.
Sumber: Medical Up-date.
Jumat, 29 Mei 2009
Sakit Sinus
Artis cantik Catherine Zeta Jones (40) sakit sinusitis. Hampir tipa hari harus bolak-balik ke rumah sakit untuk mendapat perawatan berkaitan dengan peradangan pada saluran sinus yang terletak dekat hidung.
Jones memberikan pujian kepada staff rumah sakit setempat di Bermuda. ”Mereka benar-benar bekerja dengan baik, sekarang saya sudah sembuh.”
Sumber: Kompas
Tonsilektomi
Dari National Institute for Public Health and Enviroment, Bilthoven, Belanda, dalam studi sebelumnya menghubungkan tonsilektomi dengan kenaikan berat badan, tetapi saat itu belum dapat dipastikan apakah kejadian tersebut merupakan faktor resiko.
Guna memastikan hal ini, para peneliti menganalisis data 3,963 anak yang mengikuti studi kohort kelahiran PIAMA (Prevent and Incidence of Asthma and Mite Allergy). Digunakan kuesioner parental tahunan untuk menilai berat badan, status tonsilektomi dan faktor lain. Selain itu, tinggi dan berat badan seluruh anak dinilai saat berusia 8 tahun.
Tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi meningkatkan resiko untuk mengalami berat badan berlebih sebesar 61% dan obesitas sebesar 136% pada saat anak berusia 8 tahun (p<0,01). Adenoidektomi saja tidak secara bermakna meningkatkan resiko berat badan berlebih, tetapi meningka7kan resiko obesitas sebesar 94% (P<0,05).
Data longitudional berat dan tinggi badan beberapa tahun sebelum dan sesudah operasi menunjukkan bahwa (adeno)tonsilektomi menciptakan titik balik antara periode growth faltering dan periode catch-up growth, sehingga hal ini dapat menjelaskan meningkatnya resiko timbulnya berat badan berlebih setelah operasi.
Para peneliti menganjurkan agar orang tua diberi nasehat menegenai diet dan gaya hidup yang benar bagi anak yang akan menjalani tonsilektomi. Monitoring pertumbuhan pasca operasi merupakan kunci untuk memastikan bahwa catch-up growth terjadi dalam batas yang sehat.
Sumber : Medical Up-date
Selasa, 26 Mei 2009
PPA dosis aman
Indonesia masih mengizinkan peredaran obat flu dan batuk yang mengandung phenylpropanolamine atau PPA, tetapi dengan mereduksi kandungan menjadi 15 milligram per dosis.
Tidak benar, 1 Maret 2009 US-FDA mengeluarkan pengumuman penarikan PPA. November 2000, US-FDA menarik obat menandung PPA karena diduga terkait dengan perdarahan otak karena dosis besar sebagai pelangsing.
Di Indonesia, PPA hanya disetujui sebagai obat untuk menghilangkan gejala hidung tersumbat dalam obat flu seta batuk dan tidak disetujui sebagai pelangsing.
Australia & Inggris msih mengizinkan peredaran obat yang mengandung PPA dengan pertimbangan dosis per hari lebih kecil 100 mg/hari, sedangkan AS mengizinkan 150 mg/hari. Di Indionesia, dosis PPA kita dikurangi 15 mg/dosis. Kalau diminum tiga kali hanya 45 mg/hari. Dan PPA tidak mengendap dan keluar lewat urine.
Sudah ada pengganti PPA yakni Pseudoephedrine, tetapi harganya dua kali lipat PPA. Keduanya beresiko sama, yaitu menyebabkan hipertensi. Anak-anak dibawah enam tahun tidak diizinkan meminumnya.
Senin, 11 Mei 2009
GERD
Asam lambung bias naik dan mengakibatkan perlukaan di kerongkongan. Lama-lama bisa menjadi kanker kerongkongan.
GERD merupakan kondisi aliran balik dari isi lambung ke kerongkongan yang menyebabkan gejala yang mengganggu hingga terjadinya komplikasi. Aliran balik asa lambung ke kerongkongan tidak hanya menjadi pemicu sindrom GERD (seperti naiknya aliran isi lambung ke kerongkongan atau regurgitasi ataupun nyeri dada seperti terbakar, heartburn) tetapi juga menyebabkan luka pada kerongkongan atau esofagitis. Alir balik isi lambung ini juga dilaporkan bisa menyebabkan atypical syndrome (seperti asthma reflux) yang dapat mengganggu aktifitas sehari-hari dan sulit diobati.
Komplikasi lain.
GERD yang tidak diterapi dengan baik dapat menyebabkan terjadinya komplikasi antara lain penyempitankerongkongan, pendarahan kerongkongan dan kondisi yang disebut Barrett’s esophagus (terjadi pembentukan jaringan pada dinding kerongkongan seperti yang ditemukan dalam usus). Jika hal ini terjadi, perjalanan penyakit ini berhubungan dengan kanker kerongkongan.
Faktor resiko penyakit GERD ini antara lain obesitas, tidur telentang seusai makan, merokok, alkohol, kopi, dan stress.
Kopi menungkatkan asam lambung, begitu juga stress. Jika ada sesuatu yang tidak beres di otak, maka otak akan memerintahkan lambung untuk memproduksi asam lambung.
Sabtu, 25 April 2009
Obat Flu dan Batuk.
Sejauh ini tidak ada laporan kasus efek samping pemakaian phenylpropanolamine atau PPA didalam obat flu dan batuk. Badan pengawasan obat dan makanan menilai pemakaian PPA didalam obat flu dan batuk di Indonesia terbilang rendah dosisnya, hanya 15-25 milligram per dosis atau 75 mg per hari.
Jadi tidak benar pada 1 Maret 2009, BPOM amerika serikat (US-FDA) mengeluarkan pengumuman tentang obat flu dan batuk yang mengandung PPA seperti yang beredar si SMS dan email, kata Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Dr.Husniah Rubiana Thamrin Akib di Jakara.
PPA adalah zat aktif dalam obat flu dan obat batuk yang berfungsi sebagai penghilang gejala hidung tersumbat.
Menurut Husniah, saat ini tidak ada informasi baru terkait keamanan PPA. Pada November 2000, US-FDA menarik obat yang mengandung PPA karena diduga ada hubungannya antara perdarahan otak dan penggunaan PPA dosis besar sebagai obat pelangsing. PPA yang digunakan dalam obat pelangsing di AS sebanyak 150 mg per hari.
Penarikan obat yang mengandung PPA di AS diduga ada hubungan antara hemorrhagic stroke dan penggunaan PPA dosis besar sebagai obat pelangsing. PPA dosis besar sebagai obat pelangsing di AS dijual sebagai obat bebas. Di Indonesia, PPA tidak pernah disetujui sebagai obat pelangsing.
Hidung Tersumbat.
Di Indonesia menurut Husniah, PPA hanya disetujui sebagai obat untuk menghilangkan gejala hidung tersumbat dalam obat flu dan batuk, serta tidak pernah disetujui sebagai oba pelangsing. Itupun dalm dosis yang lebih kecil dari pada yang di AS yakni 15 – 25 mg per dosis atau 75 mg per hari untuk dewasa, sedangkan untuk anak berusia 6-12 tahun hanya diperbolehkan 37,5 mg per hari.
Di Indonesia juga tidak pernah ada laporan efek samping stroke atau perdarahan otak yang berhubungan dengan penggunaan PPA. Perlu dipahami, penggunaan obat apapun juga wajib membaca aturan pakai maupun hal yang perlu diperhatikan, tegas Husniah.
Obat flu dan obat batuk yang mengandung PPA atau golongan simatomimetik (misalnya efedrin, fenilefrin, pseudoefedrin) tidak boleh digunakan oleh pasien darah tinggi, hipertiroid, penyakit jantung, diabetes, glaukoma, hipertropi prostat atau pasien yang sedang mengkonsumsi obat antidepresan golongan penghambat monoamin oxidase (MAO).
Apabila obat digunakan sesuai aturan pakai yang telah ditetapkan, kata husniah, efek samping yang ditimbulkan umumnya ringan dan bersifat sementara. Efek samping tersebut dapat berupa rasa mengantuk, sakit kepala, mual, muntah, gelisah atau susah tidur.
Klik disini untuk melihat PPA dosis aman
Sabtu, 18 April 2009
Fungal Sinusitis
The disease is now know as EFRS (eosinophilic fungal rhinosinusitis) or EMRS (eosinophilic mucinous rhinosinusitis); possibly only a major point to a physician. Of greater importance to the patient; those fungal infections may very well have been caused by toxigenic molds.
Fungal growth was found in washings from the sinuses in 96% of patients with chronic sinusitis. Normal controls had almost as much growth, the difference being that those patients with chronic sinusitis had eosinophiles which had become activated. As a result of the activation, the eosinophiles released MBP (Major Basic Protein) into the mucus which attacks and kills the fungus but is very irritating to the lining of the sinuses. It is believed that MBP injures the epithelium and allows the bacteria to proliferate. The injury to the epithelium by the fungus and mucus led to the belief that treatment of chronic sinusitis should be directed at the fungus rather than the bacteria.
Unfortunately the discussion above was not included in the original article by the Mayo clinic. As a result, the article was not well received initially. There was also no information about the success of treatment in the original article, and there was very little discussed about mechanisms. As more data has accumulated, there is more evidence that the problem may be as important as the Mayo Clinic suggests and the significance is starting to be accepted.
The findings of the Mayo Clinic were confirmed in papers presented at The American Rhinologic Society. The well respected group from Graz, Austria were able to show positive fungal cultures in 92 % of their patients. Almost as many of the controls also had fungi. Clusters of eosinophiles were found around fungi in 94% of patients. This is important because we believe that this shows that the eosinophiles are involved in attacking and killing the fungi.
Current techniques make it difficult for private practitioners to clearly establish EFRS. For example, it is possible to tell by electron microscopy that the degranulation of the eosinophile is in response to fungus. The granules will form a horseshoe shape after degranulation, which is specific to activation by fungi. There are also special stains (e.g. chitinase) which the Mayo Clinic has developed which hopefully will be available in the future.
At the present time, some patients are being treated with irrigation with topical antifungals such as Amphotericin B. Many patients require other agents such as nasal or systemic steroids, however many patients were able to stop treatment with steroids. Through current research, we have discovered, patients have an adverse reaction when they have been exposed to toxic molds.
Given topically, Amphotericin B causes minimal problems. These can include burning due to the fact that it must be mixed with sterile water. It cannot be mixed with saline, and must be protected from light and refrigerated. It is therefore very inconvenient to use. We anticipate that patients will need to be treated indefinitely, or at least until we understand better why these problems are occurring.
There is currently a compounded Nizoral Nasal Spray for minor fungal sinusitis and colonization of the sinus cavity, eustachian tubes, and throat. Another remedy that is extremely effective is Nystatin oral powder applied directly to the sinus cavity with a clean swab. It can be mixed with saline as well.
Because irrigation must get into the sinuses in order to be effective, it is often necessary for patients to have endoscopic sinus surgery before irrigation can be effective. It may be possible to use the Grossan irrigator to irrigate effectively without surgery. It is also speculated that since as many as 70% of patients with EFRS have a positive allergy skin test for fungi or mold it may be possible to treat them by standard allergy management. Since we cannot allergy test for all of the fungi, it can be a difficult proposition. We are also concerned about whether exposure to fungi in the environment may also contribute to part of the problem. In some cases, it may be necessary to ascertain what mold levels are in the home.
There are numerous other types of fungal sinusitis which are more customary. The other forms of fungal sinusitis are broken down into several categories: Allergic, Fungul balls (images) (Mycetoma), and Invasive.
Patients who have repeated bouts of sinusitis, as well as those who are immunocompromised should be considered to possibly have a fungal sinusitis. CT scan will sometimes show calcification, but MRI is more sensitive in diagnosis. Cultures are best obtained from the sinuses, as nasal cultures are rather unreliable.
Allergic fungal sinusitis (AFS) is commonly caused by Aspergillus, as well as Fusarium, Curvularia, and others. Patients often have what appears is associated asthma. The criteria include CT or MRI confirmation, a dark green or black material the consistency of peanut butter called "allergic mucin" which typically contain a few hyphae, no invasion, and no predisposing systemic disease. Charcot-Leyden crystals, which are breakdown products of eosinophiles are often found. Sometimes, patients are found to be allergic to the fungus, although this is very controversial. This disease is analogous to Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis.
Surgery, irrigation and immunotherapy are helpful, but it can be extremely difficult to treat. It occurs much more commonly in the humid areas in the Southern United States.
Fungus balls often involve the maxillary sinus and may present similarly to other causes of sinusitis including a foul smelling breath. In addition to radiological abnormalities, thick pus or a clay-like substance is found in the sinuses. There is no allergic mucin, but dense hyphae are found. There is an inflammatory response in the mucosa. Removal of the fungus ball is often the typical treatment, but this varies, depending on the circumstances.
Invasive sinusitis can progress rapidly as any infection, and typically necessitates surgery, repeatedly on an emergent basis often requiring AmphotericinB as well. There have been some forms of invasive sinusitis which can cause proptosis. There is a form of chronic invasive fungal sinusitis which is associated with visual abnormalities due to bony erosion.
Fungal sinusitis should obviously be treated by someone with extensive experience in treatment of this disease
Senin, 06 April 2009
Jangan Sepelekan Kanker Nasofaring
Kanker Nasofaring merupakan kaknekr yang menyerang leher serta kepala dan banyak ditemukan di Indonesia. Tumor itu bisa dikendalikan dengan menerapkan pola hidup sehat dan mendeteksi penyakit itu secara dini.
Bila diagnosis secara dini, terapi akan lebih efektif. Pasien berpeluang sembuh atau mampu bertahan hidup. Selama ini kasus karsinoma atau tumor ganas pada nasofaring didominasi factor ras mongoloid, yaitu penduduk cina selatan dengan angka kejadian 40-50 kasus per 100.000 penduduk, sementara di eropa dan amerika kurang dari 1 kasus per 100.000 penduduk. Di Indonesia, kanker nasofaring menempati peringkat pertama keganasan untuk THT, serta urutam ke-empat terbanyak diantara seluruh jenis keganasan.
Diagnosis secara dini sulit dilakukan karena tumor itu baru menampakkan gejala khas pada stadium lanjut. Apalagi letak tumor itu tersembunyi dibelakang hidung dan pertengahan dasar tengkorak, sehingga sulit dilihat jika tidak diperiksa ahlinya. Gejala awal tidak khas, tidak mirip penyakit lain. Tumor ganas itu umumnya tumbuh dekat sekali dengan muara tuba eustachius (saluran yang terhubung dengan telinga). Sehingga pembesaran sedikit pada tumor menyebabkan tersumbatnya saluran ini. Pembesaran ini menimbulkan gejala antara lain teling berdenging dan gangguan pendengaran satu sisi telinga. Gejala lain adalah pendarahan ringan melalui hidung. Pada stadium lanjut, ditandai pembesaran pada leher.
Bila dideteksi pada stadium awal, angka ketahanan hidup 5 tahun mencapai 76%. Bila pasien diterapi pada stadium tiga dan empat, angka ketahanan hidup 5 tahung mencapai 40%.
Penyebab kanker nasofaring adalah infeksi virus Epstein Barr. Namun ada beberapa faktor lain, yaitu faktor lingkungan seperti iritasi oleh bahan kimia, kebiasaan memasak dengan asap dan kebiasaan mengonsumsi ikan maupun daging yang diawetkan dengan nitrosamine. Lingkungan kerja yang terpapar gas dan bahan kimia industri, peleburan besi, farmaldehida dan serbuk kayu beresiko terserang tumor ganas itu.
Diagnosis karsinoma nasofaring ditegakkan denga biopsi nasofaring. Pemeriksaan penunjang yaitu CT-scan, untuk mendiagnosis tumor-tumor didaerah kepala leher sehingga tumor primer yang tersembunyai bisa ditemukan.
Kamis, 26 Maret 2009
Gangguan pendengaran akibat kemoterapi dengan cisplatin
Medical Update Magazine
Journal of the national cancer institute 2009
Perbedaan sifat farmakokinetik di antara cisplatin dan oxaliplatin dapat menjelaskan perbedaan efek ototoksiknya, karenasecara bermakna lebih banyal cisplatin yang masuk kedalam telinga dalam dibanding oxalipatin.
Dr.Victoria Hellberg dan kawan-kawan dari karolinska institutet Stockholm Swedia melaporkan bahwa ambilan oxiliplatin kokhlear yang lebih rendah disbanding dengancisplatin tampaknya dapat menjelaskan efek ototoksisitas yang lebih rendah.
Untuk dapat mengetahui mengapa kemoterapi dengancisplatin sering menyebabkan gangguan pendengaran sedangkan kemoterapi dengan oxaliplatin yang sama-sama merupakan obat berbasis platinum jarang mempunyai efek sampik ototoksik, maka tim peneliti ini mengukur jumlah cisplatin dan oxaliplatin yang mencapai kokhlea pada marmot.
Para peneliti menemukan bahwa kadar platinum total dalam kokhlea 5 kali lipat lebih tinggi dengan cisplatin disbanding oxaliplatin, setelah pemberian suntikan inravena. Kadar obat perilimfatik secara bermakna juga lebuh tinggi dengancisplatin disbanding oxaliplatin.
Seperti yang sudah diduga sebelumnya, cisplatin pada dosis ekimolar (12.5 mg/kg) menyebabkan efek ototoksik berat pada model binatatng marmot, sedangkan oxaliplatin (16.6 mg/kg) menunjukkan efek ototosik minimal.
Setelah pemberian dosis cisplatin non ototoksik (5 mg/kg) atau oxaliplatin dengan dosis sebanding (16.6 mg/kg), kadar obat perilimfatiknya sama besar. Hal ini menunjukkan kedua obattersebut mempunyai farmakokineyik kokhlear yang berbeda.
Disimpulakan bahwa adanya perbedaan kinetic kokhlear dan ambilan seluler yang ditemukan pada organ pendengaran, sudah cukup untuk menjelaskan perbedaan ototoksisitas diantara cisplatin dan oxaliplatin.
Kamis, 19 Maret 2009
Sinusitis maksilaris kronis
Secara umum, anamnesis dan pemeriksaan fisik harus dilakukan dalam diagnosis rutin sinusitis maksilaris kronik. Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis sinusitis maksilaris, yaitu transiluminasi, radiologis serta pungsi dan aspirasi.2 Pemeriksaan plain foto radiografi dilakukan untuk melihat keadaan sinus maksilaris, posisi yang terbaik adalah occipitomental (Waters).
Penatalaksanaan sinusitis adalah dengan menggunakan berbagai modalitas terapi, mulai dari terapi konservatif saja sampai irigasi sinus dan pembedahan. Kebanyakan penderita sinusitis dapat diterapi dengan baik menggunakan pendekatan konservatif dengan antibiotika dan dekongestan dan atau dengan tambahan short wave diathermy (SWD) atau low level laser therapy (LLLT).
LLLT dilaporkan mempunyai efek biomodulasi : mengurangi inflamasi, meningkatkan respon imunologis, mengurangi rasa nyeri serta mempercepat penyembuhan luka.4,5 Saat ini LLLT sudah cukup sering digunakan di beberapa rumah sakit, namun terapi dengan SWD untuk sinutitis juga masih digunakan. Pemberian diatermi ini menguntungkan oleh karena tidak invasif terutama untuk anak-anak dan prosedurnya lebih sederhana bila dibandingkan dengan irigasi. Short wave diathermy dikatakan efektif untuk sinusitis kronik karena membantu drainase sinus dengan membuka ostium sinus.
Senin, 19 Januari 2009
TUMOR LIDAH KLINIS...
Laporan kasus. Kami laporkan tumor lidah yang klinis mencurigakan keganasan sampai dilakukan trakeotomi dan beberapa kali dilakukan biopsi, PA tidak didapatkan tanda keganasan. Sehingga diadakan pertemuan antara THT, PA dan Onkologi klinik diputuskan diterapi dengan regimen sitostatika FAP sesuai dengan literatur yang menyatakan beberapa sitostatika dilaporkan dapat digunakan untuk pengobatan keganasan didaerah kepala leher.
Pembahasan. Pemberian sitostatika sampai seri ke enam memberikan hasil yang baik dengan adanya tumor yang mengecil, pasien dapat makan dan minum seperti biasa dan akhirnya dilakukan dekanulasi. Tidak dijumpai efek samping yang serius akibat pemberian sitostatika pada pasien ini
Kesimpulan. Pemberian sitostatika pada kasus ini memberikan hasil yang baik dimana bila kita tidak memutuskan untuk dilakukan terapi tersebut kemungkinan pasien sudah tidak tertolong.
Jumat, 09 Januari 2009
My Tesis
Perbedaan Hasil Terapi Antibiotika dan Dekongestan dengan atau Tanpa Tambahan Short wave diathermy atau Low level laser therapy, pada Penderita Sinusitis Maksilaris Kronis Rinogen
Oleh :
Dinarviani Dwi Lukitasari, Rus Suheryanto, J. Bambang Soemantri
Bagian
Penatalaksanaan sinusitis maksilaris kronis dengan berbagai terapi, tetapi kebanyakan dapat diterapi dengan baik dengan pendekatan konservatif antibiotika dan dekongestan dan atau dengan tambahan short wave diathermy (SWD) atau low level laser therapy (LLLT).
Tujuan dan Metode Penelitian : mengetahui perbedaan hasil terapi antara terapi standar antibiotika dan dekongestan, dengan terapi standar dan SWD serta terapi standar dan LLLT pada penderita sinusitis maksilaris kronis rinogen. Desain penelitian eksperimental klinis dengan rancangan percobaan pre test – post test completly random design. Dari 18 sampel yang didapat, dibagi menjadi 3 kelompok dengan metode single blind random sampling. Kelompok A diberikan terapi standar amoksisilin/asam klavulanat dan pseudoefedrin. Kelompok B diberikan terapi standar dan SWD. Kelompok C diberikan terapi standar dan LLLT.
Hasil Penelitian : hasil terapi pada ketiga kelompok baik pada kondisi klinis maupun pada foto Waters menunjukkan respon perbaikan tetapi tidak berbeda bermakna (p = 0,284) dan (p = 0,454). Dari masing-masing kelompok, pada respon kondisi klinis, kelompok A menunjukkan respon perbaikan yang bermakna (p = 0,034), begitu juga kelompok B (p = 0,024) dan kelompok C (p = 0,020). Pada respon foto Waters, kelompok A menunjukkan respon perbaikan tetapi tidak berbeda bermakna (p = 0,083), begitu juga kelompok C (p = 0,102), tetapi kelompok B menunjukkan respon perbaikan yang bermakna (p = 0,024).
Kesimpulan : hasil terapi pada ketiga kelompok tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dengan pemberian antibiotika dan dekongestan saja atau dengan tambahan SWD atau LLLT.
The treatment of sinusitis is using various kind of therapies but most of the sinusitis patients can be well treated by a conservative approach with antibiotic and decongestan and or with addition short wave diathermy (SWD) or low level laser therapy (LLLT).
Objective : compare standard therapy effect of antibiotic and decongestan, standard therapy and SWD, standard therapy and LLLT for rhinogenic chronic maxillary sinusitis. The design of this research is a clinical experimental with pre test-post test completely random design. The amount of samples were 18 people. The samples was devided into 3 groups using randomized complete single blind method. Group A was treated with standard therapy of amoxycillin/clavulanic acid and pseudoephedrine. Group B was treated with standard therapy and SWD. Group C was treated with standard therapy and LLLT.
Results : there were improvement on the therapeutic effect of the 3 groups with clinical condition and Waters roentgent but did not differ significantly (p = 0,284) and (p = 0,454). Each groups, In the clinical condition, in group A there was a significant improvement (p = 0,034) and also in group B (p = 0,024) and group C (p = 0,020). In the Waters roentgent, in group A there was not significant improvement (p = 0,083) and also in group C (p = 0,102), but in group B there was a significant improvement (p = 0,024).
Conclusion : there was no significant difference on the clinical improvement and Waters roentgent whether using antibiotic and decongestant treatment or with addition SWD or LLLT.
Key words : rhinogenic chronic maxillary sinusitis, SWD, LLLT, clinical condition, Waters roentgent